Mari kita kenalan dengan istilah "gaya selingkung". Yup, benar! Se-ling-kung. Kamu nggak salah baca, kok. Di judul ini juga bukan ketikannya yang salah. Mungkin kamu masih belum familiar dengan istilah ini, kan? Nah, artikel ini akan membantu kamu mengenal lebih jauh tentang yang namanya gaya selingkung.
Sebenarnya, penerapan gaya selingkung bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari, lho. Banyak media dan penerbit buku yang menggunakannya sebagai panduan dalam penulisan. Jadi, setiap berita atau buku yang kamu baca pasti mengikuti gaya selingkung tertentu.
Aturan dalam gaya selingkung ini berbeda-beda di setiap media atau penerbit. Kenapa bisa begitu? Karena gaya selingkung adalah hasil kesepakatan redaksi masing-masing. Meskipun ada beberapa hal yang tetap mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aspek lain ditentukan oleh kebijakan media atau penerbit itu sendiri.
Apa itu Gaya Selingkung?
Dalam bahasa Inggris, gaya selingkung dikenal dengan istilah style book atau style guide. Menurut KBBI, kata "selingkung" berarti sekeliling atau terbatas pada lingkungan tertentu.
Gaya selingkung merujuk pada aturan penulisan yang berlaku di suatu lingkungan, dalam hal ini adalah di redaksi media dan penerbit. Setiap media atau penerbit memiliki aturan penulisan yang khusus, yang diikuti oleh para reporter, editor, dan semua yang terlibat dalam produksi tulisan.
Perbedaan gaya ini bisa terlihat pada cara media menulis kata-kata tertentu, seperti Alquran/Al-quran, Ramadan/Ramadhan, Salat/Sholat, dan Kakbah/Ka’bah. Ada media yang mengikuti penulisan menurut KBBI, seperti Al-Quran, Ramadan, Salat, dan Ka'bah. Namun, ada juga yang memilih penulisan yang berbeda karena alasan tertentu.
Lalu, apakah itu salah atau melanggar tata bahasa? Menurut ahli bahasa Indonesia, Gorys Keraf, bahasa adalah simbol bunyi yang bersifat arbitrer. Artinya, tidak ada aturan baku yang mengharuskan suatu bunyi untuk memiliki arti tertentu. Makna kata bergantung pada kesepakatan bersama. Jadi, penggunaan ejaan seperti Alquran, Sholat, atau Ramadhan, sepanjang tujuannya untuk komunikasi yang jelas, tidak masalah.
Pengaruh Target Pembaca terhadap Gaya Selingkung
Gaya selingkung biasanya juga dipengaruhi oleh target pembaca. Media pada umumnya, baik cetak maupun online, cenderung menggunakan kata ganti orang ketiga. Kamu pasti sering melihat nama lengkap narasumber seperti Presiden Joko Widodo atau Ridwan Kamil, kemudian diikuti dengan "dia", "ia", atau "mereka".
Gaya bahasa yang digunakan media massa umumnya lebih formal, dan biasanya tidak menyapa pembaca secara langsung. Misalnya, Detik tidak akan memulai artikel tentang kasus COVID-19 dengan kalimat seperti, “Hai, pembaca sekalian! Gimana nih kabarnya puasa hari ke-27?” Pembukaan seperti ini jarang ditemukan di media massa, apalagi media daring, yang lebih mengutamakan berita cepat dan langsung ke inti.
Perbedaan Gaya Selingkung Berdasarkan Jenis Media
Ada banyak jenis media, mulai dari cetak, online, radio, hingga televisi. Dalam hal ini, kita akan fokus pada media cetak dan online, karena keduanya mengandalkan tulisan sebagai produk utama.
Walaupun keduanya menyajikan tulisan, gaya bertutur mereka sangat berbeda. Misalnya, Tempo, yang masih menerbitkan majalah, menggunakan diksi yang lebih kaya dan beragam, seperti "syak wasangka", "pelanduk", atau "sampur". Tempo tetap mempertahankan tradisi jurnalisme naratif atau sastra yang populer sejak 1960-an, yang diperkenalkan oleh jurnalis seperti Truman Capote dan Gay Talese.
Di sisi lain, Detik, yang murni online, lebih mengutamakan gaya bahasa yang sederhana dan cepat. Wartawan di media daring tidak punya banyak waktu untuk bermain dengan diksi karena mereka harus segera menyampaikan informasi, terutama saat melaporkan berita terkini.
Sekarang, kamu pasti sudah lebih paham tentang apa itu gaya selingkung, kan? Kalau masih ada yang belum jelas, kamu bisa tinggalkan pertanyaan di kolom komentar, ya. Feel free!
0 Komentar